SURABAYA, PustakaJC.co - Peci telah menjadi simbol dan juga ciri khas muslim untuk melaksanakan ibadah, terutama salat. Selain untuk beribadah, hingga kini peci tetap dipandang sebagai identitas khas bangsa Indonesia.
Peci juga sering dipakai sebagai pelengkap pakaian tradisional di berbagai daerah. Berikut sejarah singkat dari penggunaan peci, yang juga memiliki sebutan kopiah atau songkok.
Dalam buku Pondok Pesantren Mengapa Sangat Penting untuk Anak Masa Kini karya Yusril Mahendra, dijelaskan bahwa penutup kepala yang terbuat dari kain beludru dengan kedua ujung berbentuk lancip ini dikenal dengan sebutan peci, kopiah, atau songkok.
Istilah "peci" muncul pada era penjajahan Belanda dan ditulis sebagai "petje," yang berasal dari kata "pet" (topi) dan akhiran "je" yang berarti "sesuatu yang kecil." Peci adalah penutup kepala yang umum dipakai oleh masyarakat Melayu. Ada juga kisah yang menyebutkan bahwa peci merupakan inovasi dari Sunan Kalijaga, yang dikenal sebagai "kuluk" atau mahkota sederhana, yang dipakai oleh Raden Fattah saat ia diangkat menjadi Sultan Demak.
Sedangkan istilah "kopiah" diambil dari bahasa Arab, yaitu "kaffiyah." Namun, bentuk asli kaffiyah dari Timur Tengah berbeda dengan kopiah yang umum dipakai di Indonesia. Kaffiyah adalah kain penutup kepala berbentuk persegi yang dilipat di tengah sehingga menjadi segitiga, dan biasanya terbuat dari katun.
Selain itu, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kata "kopiah" berasal dari ungkapan Jawa "kosong di-pyah," yang berarti "kosong dibuang." Ini mengacu pada ide bahwa kebodohan, dengki, amarah, dendam, riya', dan sifat buruk manusia lainnya harus dibuang. Dalam Tasawuf atau Sufisme, konsep ini dikenal dengan metode Tahally atau Zero Mind Process, yang bertujuan membersihkan pikiran dan hati manusia dari sifat-sifat negatif tersebut.
Sementara itu, kata "songkok" dalam sejarahnya berasal dari istilah "skull cap" (batok kepala topi), yang digunakan oleh pihak Inggris untuk menyebut pengguna di Timur Tengah. Di wilayah Melayu, istilah tersebut mengalami perubahan pelafalan menjadi "song kep," yang akhirnya disebut songkok.
Ada pula yang menganggap bahwa songkok berasal dari singkatan "Kosong dari Mangkok," yang menggambarkan kepala sebagai mangkok kosong yang perlu diisi dengan ilmu pengetahuan, simpati, empati, kesabaran, pemaaf, ketulusan, dan berbagai sifat baik lainnya.
Disebutkan pada sumber sebelumnya, bahwa dalam sejarahnya, peci mulai dikenal sebagai identitas kebangsaan Indonesia berkat peran Bung Karno, yang dijuluki Pemuda Berpeci, saat pertemuan Jong Java di Surabaya pada Juni 1921. Meskipun demikian, para santri pondok pesantren dan madrasah sudah berperan aktif dalam melestarikan penggunaan peci.
Di lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut, peci bahkan diadopsi sebagai seragam resmi. Selain itu, tokoh-tokoh Islam juga berkontribusi dalam memperkuat identitas bangsa Indonesia melalui pemakaian peci. Di antara ulama yang berpengaruh dalam hal ini adalah Kiai Sholeh Darat dan Sayyid Utsman al-Batawi.
Menurut buku Wawasan Keislaman karya Mohammad Ridwan, peci dulunya merupakan pakaian sehari-hari bagi setiap laki-laki Muslim di Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman, peci hanya dikenakan oleh masyarakat berpendidikan tinggi pada momen-momen tertentu, seperti saat salat, resepsi, dan acara-acara penting lainnya.
Penggunaan peci di Indonesia bermula pada abad ke-14, setelah invasi Laksamana Cheng Ho. Ir. Soekarno, sebagai wakil laki-laki Muslim Indonesia, berhasil menjadikan peci sebagai bagian dari budaya lokal yang diterima oleh berbagai kalangan dan agama, sehingga menjadi isu nasional.
Dalam buku Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi karya G. J. Nawi, disebutkan bahwa penggunaan peci oleh tokoh nasional pertama kali terlihat pada tahun 1913. Saat itu, tiga politisi yang diasingkan di Belanda, seperti Douwes Dekker, DR. Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara diundang dalam rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag.
DR. Tjipto merupakan tokoh nasionalis pertama yang mengenakan peci beludru hitam, sedangkan Ki Hajar Dewantara memakai topi merah Fez Turki, dan Douwes Dekker tidak mengenakan tutup kepala.
Peci kemudian menjadi simbol perlawanan nasional yang sejalan dengan munculnya ide nasionalisme. Soekarno mempopulerkan peci dan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme, yang mencerminkan semangat marhaenisme sekaligus nasionalisme. Menariknya, saat itu peci dan sarung sering dipadukan dengan jas.
Menukil kembali pada buku Wawasan Keislaman, disebutkan bahwa dalam Islam, seorang laki-laki yang memakai peci, imamah atau sorban hukumnya sunnah. Walaupun bentuknya tidak sama, namun fungsi dan kegunaan antara peci dan imamah atau sorban sama saja. (int)