Menurut buku Wawasan Keislaman karya Mohammad Ridwan, peci dulunya merupakan pakaian sehari-hari bagi setiap laki-laki Muslim di Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman, peci hanya dikenakan oleh masyarakat berpendidikan tinggi pada momen-momen tertentu, seperti saat salat, resepsi, dan acara-acara penting lainnya.
Penggunaan peci di Indonesia bermula pada abad ke-14, setelah invasi Laksamana Cheng Ho. Ir. Soekarno, sebagai wakil laki-laki Muslim Indonesia, berhasil menjadikan peci sebagai bagian dari budaya lokal yang diterima oleh berbagai kalangan dan agama, sehingga menjadi isu nasional.
Dalam buku Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi karya G. J. Nawi, disebutkan bahwa penggunaan peci oleh tokoh nasional pertama kali terlihat pada tahun 1913. Saat itu, tiga politisi yang diasingkan di Belanda, seperti Douwes Dekker, DR. Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara diundang dalam rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag.
DR. Tjipto merupakan tokoh nasionalis pertama yang mengenakan peci beludru hitam, sedangkan Ki Hajar Dewantara memakai topi merah Fez Turki, dan Douwes Dekker tidak mengenakan tutup kepala.
Peci kemudian menjadi simbol perlawanan nasional yang sejalan dengan munculnya ide nasionalisme. Soekarno mempopulerkan peci dan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme, yang mencerminkan semangat marhaenisme sekaligus nasionalisme. Menariknya, saat itu peci dan sarung sering dipadukan dengan jas.
Menukil kembali pada buku Wawasan Keislaman, disebutkan bahwa dalam Islam, seorang laki-laki yang memakai peci, imamah atau sorban hukumnya sunnah. Walaupun bentuknya tidak sama, namun fungsi dan kegunaan antara peci dan imamah atau sorban sama saja. (int)