SURABAYA, PustakaJC.co - Gonjang-ganjing gabah/beras yang berlangsung beberapa bulan terakhir telah memasuki babak baru. Jika beberapa bulan sebelumnya harga gabah/beras sempat meroket yang kemudian dijadikan beleid pemerintah untuk mengimpor beras, saat ini seiring datangnya musim panen harga gabah/beras di beberapa daerah sentra produksi mulai anjlok. Untuk mengantisipasi makin anjloknya harga gabah di tingkat petani, belum lama ini pemerintah telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) gabah/beras.
Harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani naik menjadi Rp 5.000/kilogram, di tingkat penggilingan Rp 5.100/kilogram, Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan Rp 6.200/kilogram, di gudang Perum Bulog Rp 6.300. Sedangkan HPP beras di gudang Perum Bulog dengan kadar air maksimum 14 persen, butir patah maksimum 20 persen, dan butir menir maksimum 2 persen ditetapkan seharga Rp 9.950/kilogram.
Pemerintah sebenarnya tidak perlu mengimpor beras seandainya sejak awak sigap mengantisipasinya. Dari sisi produksi (on farm), kinerja Kementerian Pertanian dalam memproduksi beras sepanjang 2022 tidak ada hambatan. Tidak ada kejadian luar biasa yang mengakibatkan terjadinya penurunan produksi secara signifikan. Penurunan produksi secara signifikan biasanya disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, karena terjadi gagal panen (puso) akibat bencana alam banjir/kekeringan dengan intensitas berat/puso berskala luas. Kedua, karena terjadi eksplosi serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) intensitas berat/puso berskala luas yang mengakibatkan gagal panen. Sepanjang 2022 lalu kedua faktor tersebut tidak terjadi. Secara umum agroklimat sangat bersahabat, sehingga secara logika produksi beras nasional berjalan normal.
Bahkan Kinerja Kementerian Pertanian dalam memproduksi beras juga moncer. Premis ini dapat dijelaskan dengan data kuantitatif Badan Pusat Statistik (BPS). Luas panen padi pada 2022 mencapai 10,61 juta hektare. Meningkat 194,71 ribu hektar (1,87 persen) dibandingkan 2021 yang mencapai 10,41 juta hektar. Produksi padi pada 2022 diperkirakan mencapai 55,67 juta ton gabah kering giling (GKG). Meningkat 1,25 juta ton GKG (2,31 persen) dibanding 2021 yang mencapai sekitar 54,42 juta ton GKG.
Jika dikonversi ke beras, produksi padi 2022 setara dengan 32,07 juta ton beras. Adapun konsumsi beras penduduk Indonesia saat ini menurut data Kementerian Pertanian mencapai 30,2 juta ton. Menurut hitung-hitungan di atas kertas, tahun ini terjadi surplus produksi 1,8 juta ton beras. Jika diakumulasikan dengan sisa surplus tahun lalu maka tahun ini terjadi surplus sekitar 5,7 juta ton beras. Ada apa sebenarnya dengan beras?
Di manakah keberadaan surplus beras saat ini? Pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab. Pengalaman empiris saya selama lebih dari tiga puluh tahun menangani permasalahan pangan dan pertanian di daerah, memang tidak mudah melakukan pendataan stok beras dalam periode tertentu. Yang jelas stok beras berada di masyarakat, antara lain di rumah tangga petani, di penggilingan padi (RMU), di tangan pedagang pengumpul, serta di pedagang beras skala besar.
Di kalangan petugas pertanian punya anekdot: "beras tidak punya akte kelahiran, e-KTP, atau keterangan domisili lainnya, sehingga sangat sulit ditelusuri keberadaannya!" Kondisinya menjadi semakin sulit ketika para petugas pengumpul data dihadapkan pada kenyataan sulitnya akses data ke pedagang besar.
Mobilitas gabah/beras antardaerah sangat tinggi, sehingga berapa move in dan move out sangat sulit diketahui. Sebagai ilustrasi, saat musim panen padi di Kabupaten Tegal, puluhan bahkan ratusan mesin pemanen padi (combine harvester) milik para juragan beras dari Kabupaten Demak dan daerah lain di wilayah Pantura Jawa Barat menyemut di Kabupaten Tegal. Begitu pula sebaliknya, saat panen padi di Kabupaten Demak, mesin pemanen padi dari Kabupaten Tegal dan daerah lainnya gantian menyemut ke Kabupaten Demak. Volume gabah/beras yang move out dari daerah satu ke daerah lainnya tak ada satupun instansi yang mencatat.
Terkait harga beras yang tinggi pada pertengahan 2022 lalu, menurut saya antara lain disebabkan kurangnya antisipasi para pemangku kepentingan (utamanya Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog), terhadap transformasi kebijakan yang dilakukan pemerintah. Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah meluncurkan program Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) yang merupakan transformasi dari program beras bersubsidi untuk warga miskin (raskin/rastra).
Program raskin/rastra ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan berhasil membuat kondisi harga gabah/beras stabil. Hal itu disebabkan Perum Bulog ditugasi menjadi public service obligation (PSO) dan dibebani prognosa pengadaan gabah/beras dari petani sekitar 2,5 – 3 juta ton beras/tahun dengan kepastian kanal penyaluran melalui program raskin/rastra.
Pascaprogram raskin/rastra, Perum Bulog tidak lagi punya kewajiban untuk mengadakan gabah/beras dari petani dalam volume yang besar karena tidak mempunyai kanal penyaluran lagi. Namun sebenarnya Perum Bulog masih punya kewajiban untuk penguatan cadangan beras pemerintah (CBP) yang digunakan sebagai stok penyangga (buffer stock).
Ketika pemerintah memutuskan mengganti program raskin/rastra menjadi BPNT, banyak kalangan mengingatkan pemerintah agar mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejolak harga gabah/beras di kemudian hari. Namun rupanya pemerintah lalai tidak mendengarkan peringatan tersebut. Dampak yang paling nyata dari perubahan kebijakan pemerintah ini adalah Perum Bulog kedodoran dalam memenuhi stok CBP.
Data Badan Pangan Nasional menyebutkan CBP pada Oktober 2022 lalu hanya sebesar 673,6 ribu ton. Padahal sesuai amanat FAO penentuan CBP menggunakan metode Stock to Utilization Ratio yang berkisar 2,5 – 3,5 persen dari total konsumsi penduduk (1,25 – 1,5 juta ton beras). Stok penyangga yang sangat kecil tersebut membuat pemerintah kedodoran dalam melakukan intervensi pasar saat terjadi gejolak harga seperti sekarang ini. Pemerintah pun memutuskan impor beras 500 ribu ton untuk memadamkan kebakaran.
Selain stok penyangga beras yang minim, tingginya harga beras saat ini juga dipicu oleh siklus tahunan musim paceklik. Menurut Syafaat (2002), musim paceklik ditandai oleh defisit pasokan beras ke pasar akibat minimnya produksi beras. Bulan-bulan paceklik yaitu September, Oktober, November, Desember, Januari, dan Februari. Pada bulan-bulan tersebut gabah/beras yang disimpan petani kurang dari satu persen per bulan dari total produksi setahun.
Kenaikan harga beras juga disebabkan oleh kenaikan harga faktor produksi seperti kenaikan harga BBM, pupuk, obat-obatan, dan sarana produksi lainnya. Orang awam mungkin menganggap kenaikan harga beras saat ini menguntungkan petani. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena pada saat musim paceklik sebagian besar beras sudah berada di tangan para pedagang dan juragan beras.
Di sisi lain, sebagian besar petani kita adalah petani gurem yang menggarap sawah kurang dari 0,5 hektar. Saat musim paceklik seperti sekarang ini mereka telah menjadi net consumer beras. Beras yang mereka simpan sudah habis dikonsumsi keluarga, sehingga mereka harus membeli beras seperti rumah tangga lainnya.
Untuk penguatan stok penyangga dan menutup kekurangan CBP, Perum Bulog harus bekerja ekstra keras. Pengadaan gabah/beras harus mengutamakan pada panenan musim rendeng MT 2022/2023. Hal itu mengingat 65 persen proporsi panen padi satu tahun terjadi pada musim rendeng. Jika itu dilakukan maka petani akan merasa tertolong karena panen musim rendeng sangat krusial akibat curah hujan yang sangat tinggi.
Pemerintah tidak selayaknya membuat hitung-hitungan ekonomi dengan petani. Sehingga pemerintah wajib menanggung berapapun selisih harga pasar dengan harga pembelian pemerintah (HPP). Jika selisih harga gabah/beras di pasaran umum dengan HPP Rp 1.000/kg, maka untuk pengadaan 3,5 juta ton gabah/beras, pemerintah harus memberikan subsidi selisih harga kepada petani Rp 3,5 triliun. Nominal ini nyaris tak ada artinya dibandingkan dengan kedaulatan dan ketahanan pangan bangsa. (int)