Kuliner

Alkisah Warteg, Penyelamat Perut Rakyat

Alkisah Warteg, Penyelamat Perut Rakyat
dok wartegal

SURABAYA, PustakaJC.co - Merujuk dari namanya, warteg akan langsung dicap berasal dari kota Tegal, Jawa Tengah. Meskipun begitu, tak selamanya para pengusaha warteg berasal dari kota pesisir di Pulau Jawa itu karena beberapa di antaranya datang dari kota-kota wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa seperti Brebes, Kuningan, dan Pemalang.

 

Warteg mulai muncul kira-kira sesudah Indonesia merdeka. Pada saat itu, warteg belum dikenal sebagai “warteg” seperti sekarang ini.

 

"Jika mengacu pada konsep warteg yang sekarang ini (artinya sudah menggunakan nama "warteg"), warteg mulai muncul akhir dekade 1940-an," terang jurnalis sejarah, M.F. Mukhti dilansir dari kumpulan artikel sejarah dalam kacamata jurnalis, diterbitkan kompas tahun 2009.

 

Dari Tegal lalu menjalar hingga ke mana-mana. Para pengusaha warteg kemudian membuka usaha di kota-kota besar termasuk ibu kota Jakarta. Hal ini tak lepas dari pandangan orang desa yang melihat kota besar sebagai tempat mereka mengadu nasib.

 

Warteg baru hadir di Jakarta sekitar tahun 1950-an. Maraknya transportasi becak di Ibu kota menjadi satu pemicu tumbuhnya warteg di Jakarta.

 

Banyak dari tukang becak (sebutan bagi pengemudi becak) datang dari wilayah Pantura seperti Indramayu, Brebes, dan tentunya Tegal. Selain dari Pantura, tukang becak di Jakarta juga datang dari wilayah Jawa Barat bagian tengah dan selatan.

 

Persaingan muncul karena tukang becak dari Pantura dikenal lebih gesit mencari penumpang. Sistem shift pun diberlakukan agar tidak terjadi keributan. Tukang becak dari Jawa Barat mulai beroperasi pada shift pagi, sementara Pantura shift sore hari.

 

Tukang becak Pantura biasanya membawa serta keluarganya hidup di Jakarta. Keluarga inilah yang menyediakan makanan bagi kelompok tukang becak lain. Dari situ usaha membuka warung makan berkembang dan sanak famili mereka di kampung tertarik membantu dan mencari peruntungan di Jakarta.

 

"Jasa jual makanan rumahan ini berkembang mengikuti warung nasi yang ada sejak 1950-an di wilayah proyek (pada 50 sampai 60-an sedang gencar-gencarnya proyek mercusuar di Jakarta), harganya pun sama murahnya," tulis Zeffry Alkatiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina, Es Shanghai: Sisi Melik Jakarta 1970-an (2010).

 

Tidak diketahui pasti siapa yang menjadi pengusaha warteg pertama di Indonesia. Karena pada awalnya usaha warteg dibuat lebih ke arah bertahan hidup dari ekonomi yang sulit dibandingkan mencari keuntungan.

 

"Sejauh ini tidak ada, karena usaha warteg tidak dipelopori oleh seseorang sebagaimana misalnya Kolonel Sanders mendirikan KFC (Kentucky Fried Chicken, resto cepat saji asal Amerika Serikat). Warteg lebih bersifat pola umum masyarakat tertentu di Tegal dalam menyambung hidup di tengah kondisi sulit. Memang ada beberapa nama yang hingga kini dianggap sebagai pelopor warteg, yang paling populer adalah Warmo (Tebet, Jakarta Selatan)," terang Mukhti.

 

Warteg di Ibu kota kian menjamur pada dekade 1970-an. Proyek pembangunan gedung dan jalan yang semakin gencar dilakukan pemerintah jelas membutuhkan para pekerja kasar alias kuli. Pengusaha warung makan seperti warteg pun dengan jeli membuka usahanya di sekitaran proyek pembangunan tersebut.

 

"Popularitas warteg baru datang jauh setelah itu. Sekira awal dekade 1970-an seiring dengan pembangunan Jakarta. Banyak pemilik warteg membuka warung makan sederhana di sekitar proyek untuk mengakomodasi kepentingan makan para kuli bangunan," sambung Mukhti.

 

Nama sebutan warteg lebih populer di luar kota asalnya. Penyematan nama “Tegal” dimaksudkan sebagai identitas dari sang pengusaha warung makan.

 

“Sepengetahuan saya nama warteg justru populer di luar Tegal, tempat orang-orang Tegal mengadu nasib. Hal itu terkait dengan upaya pemertahanan jati diri sebuah komunitas di dalam pluralitas kota besar yang jelas berisi banyak komunitas masyarakat," papar Mukhti.

 

Pola seperti itu telah umum digunakan sejak lama. Di Jakarta bisa diambil contoh nama-nama kampung; ada Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Jawa, dll. Sementara di Singapura ada Jalan Bugis, yang diambil dari perkampungan pelaut Nusantara asal daerah itu.

 

"Awalnya, orang-orang yang berusaha dengan membuka warteg kebanyakan berasal dari Sidakaton, Cabawan, Krandon, Sidapurna," kata Mukhti menjelaskan daerah asal para pengusaha warteg.

 

Warteg dengan kekhasannya, salah satunya relatif murah, dapat mampu menarik banyak pembeli. Semurah-murahnya barang jika pembelinya banyak tentu bakalan untung. Seperti itulah yang dirasakan para pengusaha warteg. Di tempat asalnya sebagian dari mereka dipandang sebagai pengusaha yang sukses dengan memiliki rumah yang megah nan mewah.

 

Contohnya di Sidakaton dan Sidapurna, sejumlah rumah tingkat dua menghiasi kedua desa tersebut. Namun rumah tersebut biasanya terkesan sepi seperti tidak ditinggal penghuninya.

 

Menurut warga sekitar, rumah-rumah tersebut sepi karena pengusaha warteg sedang merantau ke kota. Sebenarnya rumah pengusaha warteg tidak kosong, tetapi biasanya ditunggui oleh anggota keluarga mereka atau orang yang mereka percaya. Si empunya rumah biasanya baru akan balik ketika hari raya Idul Fitri atau keperluan mendesak yang lain.

 

Hasil jerih payah pengusaha warteg tidak hanya untuk pribadi sendiri atau keluarganya semata, tetapi juga disalurkan untuk kebaikan desanya. Mereka turut andil dalam pembangunan desa seperti membangun gapura dan jalan beraspal.

 

Perkembangan zaman membuat inovasi dilakukan oleh pengusaha warteg demi menggaet konsumen milenial. Caranya beragam, mulai dari menyuguhkan menu baru sampai menambahkan fasilitas terkini di warungnya.

 

Salah satu warteg dengan konsep “kekinian” bisa ditemui di Warteg Margonda, Depok, Jawa Barat. Di Warteg Margonda, selain menu yang ada pengunjung juga dimanjakan dengan wifi gratis.

 

Cara pembayaran pun beragam, selain tunai bisa juga cashless melalui e-money, debit card, atau credit card. Beberapa promo minuman juga kadang-kadang dimunculkan oleh pemilik warung pada saat-saat tertentu. Pembeli yang males gerak alias mager, juga bisa memesan lewat aplikasi ojol karena Warteg Margonda dan warteg sejenisnya sudah mendaftarkan usahanya lewat aplikasi tersebut.

Tak cuma hanya ada di Indonesia, warteg juga ada di Queens, New York, Amerika Serikat. Pada 2013, sebuah resto makan bernama Java Village mengadopsi konsep warteg di mana makanannya sudah tersaji. “(Orang) di sini kebanyakan maunya cepat,” terang sang pemilik warung, Ibu Dewi, dikutip dari VOA Indonesia.

 

Sama halnya dengan beberapa warteg di Indonesia yang membuka 24 jam, Java Village juga buka sampai larut malam. “Anda boleh datang juga jam 11 malam kita mulai busy,” katanya lagi. (int)

Baca Juga : Ahli Gizi Sebut Belalang dan Ulat Sagu Bisa Jadi Menu MBG Aman
Bagikan :