Relasi raja sebagai pemilik tanah dan para tuan Eropa sebagai penyewa tanah kian mesra. Hubungan simbiosis mutualisme ini dilakukan oleh Residen HG Nahuys van Burgst pada 1816 yang menggagas penyewaan tanah raja dan tanah lungguh untuk perkebunan.
Mesin uang para raja dan bangsawan pemegang tanah lungguh tiba-tiba macet, ketika Pemerintah Belanda pada 6 Mei 1823 menerbitkan aturan melarang praktik sewa tanah kerajaan. Alasannya penyewaan lahan itu tak memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Larangan ini membuat para raja dan bangsawan terlilit utang karena harus membayar ganti rugi kepada para “bekel Eropa”. Sejarawan Peter Carey menyebut banyak dari bangsawan yang berutang ini kemudian bergabung dalam barisan Pangeran Diponegoro.
“Begitu besarnya perang yang menewaskan 200.000 orang Jawa itu, Hindia Belanda nyaris bangkrut,” jelas Carey.