Di tengah begitu banyak warung sate di Solo, Jawa Tengah, Warung Sate dan Gule Kambing Pak Samin sejak lama mencuri perhatian dengan menu andalannya: gule goreng alias gulgor. Kami menikmatinya September lalu ketika pandemi Covid-19 sedikit mengendurkan dekapannya.
Kota Solo selalu menjanjikan kuliner lezat di hampir setiap sudutnya. Selama masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berlangsung, geliat kuliner kota Solo memang sedikit meredup. Restoran, warung makan permanen maupun kaki lima, lesehan, dan angkringan yang sebelumnya buka sampai malam bahkan dini hari, terpaksa tutup lebih dini. Namun, kelezatan kuliner di kota ini tidak ikut redup.
Oleh: Ayu Khatulistiwa
Minggu (7/11/2021) jelang siang, kami mampir ke Warung Sate dan Gule Pak Samin (Pak Naryo) di Jalan Imam Bonjol, Solo. Pandangan kami langsung disambut asap tipis dari pembakaran sate kambing. Indera pendengaran kami dihibur oleh suara mendesis lemak yang terbakar dan gelegak kuah gulai yang terus dipanaskan. Sementara itu, indera penciuman kami dibelai aroma harum-gurih sate dan gulai. Semua itu berorkestrasi menyajikan senandung kelezatan.
Siang itu, sekitar pukul 11.00, warung sederhana dengan enam meja makan kecil itu baru saja buka. Baru ada sepasang anak muda yang datang untuk santap siang. Kami sengaja datang lebih awal dari jam makan siang untuk mengurangi kemungkinan berkumpul dengan banyak pengunjung lain. Demikianlah, di masa pandemi ini, untuk makan siang pun kita mesti bersiasat.
Seperti yang direkomendasikan oleh sejumlah teman, kami memesan menu paling populer di warung ini, yakni gulgor, ditemani beberapa tusuk sate buntel, nasi panas, dah teh sepat panas. Naryo, sang pemilik warung, dan beberapa asistennya segera meracik menu yang dipesan. Potongan jeroan yang telah dibumbui digoreng dengan minyak melimpah hingga tampak mengering.
Pada saat yang bersamaan, Naryo mengambil sekepal daging kambing dan selembar jaringan lemak, lantas melekatkannya pada batang kayu. Beberapa saat sate buntel itu dibakar di atas bara.
Sekitar 10 menit, gulgor yang menggugah selera disajikan di meja. Seporsi gule goreng terdiri dari sepiring jeroan yang digoreng kering dan sepiring kuah gulai tanpa isi apa pun. Benar-benar kuah saja.
Ketika dikunyah, tekstur jeroan yang terdiri atas babat, usus, paru, dan kawan-kawan amat garing sehingga menghasilkan suara kriuk-kriuk. Tekstur daging yang kenyal tak lagi bersisa, berganti tekstur renyah bagai keripik. Rasanya gurih dengan sedikit rasa asin. Tak ada jejak rasa bumbu yang kuat. Sesederhana itu.
Kuah gulainya encer dengan cita rasa yang juga sederhana, gurih dan sedikit asin. Tidak terasa jejak aroma dan rasa rempah yang kuat, yang biasa kita temukan pada kuah gulai pada umumnya. Jejak bumbu yang bisa kita cecap pada kuah gulgor ini hanya bawang putih, kunyit, dan kemiri.
Kami memilih menyantapnya dengan cara terpisah. Jeroan dikunyah dan kuah gulai diteguk begitu saja. Dengan cara itu, perpaduan tekstur jeroan goreng nan renyah dan kuah gulai nan basah menghasilkan sensasi menarik di lidah. Serpihan daging jeroan yang kasar di mulut langsung dibilas oleh kuah gulai hingga nyaris tanpa sisa.
Cita rasa jeroan dan kuah yang terkesan apa adanya ternyata menyimpan kekuatan tersendiri. Ketika rasa sederhana gulgor dicecap dengan sate buntel yang empuk dan berlumuran kecap; irisan tomat, cabai mentah, serta sedikit taburan merica; rasa dan tekstur menu ini menjadi seimbang. Gurih, asin, manis, pedas, hangat, kenyal, renyah, dan basah menyatu tanpa ada yang mendominasi. Bayangkan jika semua cita rasa itu disantap dengan nasi panas. Alamak!
Buat Anda yang menyukai santapan gulai yang bercita rasa ringan, Anda mungkin akan cocok dengan menu ini. Tapi untuk penyuka gulai dengan cita rasa rempah yang kuat, gulgor akan tampak terlalu sederhana. Apa pun jenis gulai kambing yang dipilih, kita hanya perlu mengingat bahwa sajian gulai berpotensi meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. (int)