Kabar Redaksi

Menjaga Tradisi di Tengah Arus Globalisasi

Menjaga Tradisi di Tengah Arus Globalisasi
tradisi lokal bermain angklung (dok tebuireng)

 

Sebagai contoh, dalam acara pernikahan adat yang biasanya melibatkan seluruh keluarga dan masyarakat sekitar, kini banyak yang memilih untuk menggelar pernikahan ala modern, dengan gaya yang lebih komersial dan bergantung pada tren yang sedang berkembang. Bukannya tidak sah, tetapi upacara adat yang sebenarnya punya nilai budaya dan filosofis yang dalam seringkali disederhanakan atau bahkan dihilangkan begitu saja.

 

Saya merasa khawatir jika tren ini terus berlanjut, kita akan kehilangan makna dari tradisi itu sendiri. Tradisi bukan sekadar rutinitas, melainkan sebuah cara untuk mengingatkan kita akan nilai-nilai luhur yang mengikat kita dengan komunitas, dengan alam, dan dengan sejarah panjang nenek moyang kita.

 

Saya mengerti bahwa globalisasi membawa banyak perubahan positif. Teknologi, misalnya, telah membuka akses informasi yang lebih luas dan memungkinkan kita untuk belajar lebih banyak tentang budaya lain. Melalui internet, kita bisa dengan mudah mengenal kebudayaan negara lain, berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, serta mengakses berbagai pengetahuan yang sebelumnya sulit didapatkan. Ini tentu saja merupakan hal yang baik, karena memperkaya wawasan kita dan memperluas pemahaman kita tentang dunia.

 

Namun, saya juga merasa bahwa globalisasi harus berjalan seiring dengan pelestarian budaya lokal. Menjaga tradisi tidak berarti menutup diri dari dunia luar, tetapi lebih kepada cara kita mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dengan perkembangan zaman. Globalisasi seharusnya tidak menghapuskan identitas budaya kita, tetapi memberi ruang bagi budaya lokal untuk berkembang dan beradaptasi dengan konteks dunia modern. Kita tidak bisa membiarkan budaya global yang serba instan dan massal mengalahkan keunikan serta kekayaan budaya lokal kita.

Baca Juga : Tantangan Pers di Era Digital
Bagikan :