Kabar Redaksi

Media Sosial Jadi Ruang Kritis Masyarakat Awasi Kinerja Pemerintah

Media Sosial Jadi Ruang Kritis Masyarakat Awasi Kinerja Pemerintah
dok pixabay

SURABAYA, PustakaJC.co - Di era digital saat ini, media sosial telah mengalami transformasi signifikan dari sekadar platform komunikasi menjadi ruang publik yang powerful untuk mengawasi kinerja pemerintah. Fenomena ini menghadirkan paradigma baru dalam hubungan antara masyarakat dan institusi pemerintahan, di mana kontrol dan transparansi dapat berlangsung secara Langsung.

 

Media sosial telah mendemokrasikan proses pengawasan pemerintah. Dulu kritik dan pengawasan terhadap kebijakan publik hanya dapat dilakukan oleh kelompok tertentu seperti media massa, akademisi, atau organisasi masyarakat sipil. Kini, setiap warganet memiliki kesempatan untuk mengungkap, mendiskusikan, dan mempertanyakan berbagai kebijakan pemerintah.

 

Platform seperti Twitter, Facebook, Instagram, Tiktok dan YouTube telah menjadi ruang di mana informasi dapat disebarluaskan dengan cepat. Sebuah penyimpangan, korupsi, atau ketidakefisienan dalam birokrasi dapat terekspos hanya dalam hitungan jam. Masyarakat tidak lagi pasif, melainkan aktif berperan sebagai "mata-mata" kebijakan publik.

 

Media sosial memungkinkan terbangunnya kekuatan kolektif masyarakat. Sebuah isu yang mungkin awalnya terlihat sepele dapat berkembang menjadi gerakan massif yang memaksa pemerintah untuk memberikan klarifikasi atau bahkan mengubah kebijakan. Contoh konkret adalah berbagai gerakan protes dan desakan publik yang bermula dari diskusi di media sosial.

 

Mekanisme ini mendorong akuntabilitas pemerintah. Para pejabat publik kini harus selalu siap menjelaskan setiap kebijakan dan tindakannya, karena mereka tahu setiap momen dapat terekam dan disebarluaskan dengan cepat.

 

Namun, di balik potensi positifnya, media sosial juga menciptakan tantangan serius berupa polarisasi sosial. Algoritma platform media sosial cenderung menciptakan "gelembung informasi" (information bubble) yang mempertegas pandangan pengguna dan membatasi mereka dari perspektif berbeda. Kritik terhadap pemerintah kerap berubah menjang ajang saling serang antar kelompok, mengalihkan perhatian dari substansi permasalahan.

 

Ruang dialog yang seharusnya menjadi medium pemikiran kritis justru tidak jarang berubah menjadi arena pertarungan identitas dan emosi. Perbedaan pendapat dipolarisasi sedemikian rupa sehingga menghalangi proses konstruktif pengawasan pemerintah. Masyarakat terjebak dalam konflik yang artifisial, sementara persoalan fundamental tetap tidak terselesaikan.

 

Namun, ruang kritis ini tidak tanpa tantangan. Informasi yang disebarkan tidak selalu akurat. Hoaks, berita palsu, dan narasi yang disengaja untuk mendistorsi realitas kerap bermunculan. Media sosial ibarat pedang bermata dua: alat yang powerful namun berpotensi menyesatkan jika tidak digunakan secara bertanggung jawab.

 

Oleh karena itu, literasi digital menjadi kunci. Masyarakat perlu dikondisikan untuk berpikir kritis, melakukan verifikasi silang, dan tidak mudah terprovokasi. Pemerintah pun perlu responsif, transparan, dan proaktif dalam menanggapi setiap kritik atau keberatan publik.

 

Media sosial bukanlah sekadar medium komunikasi, melainkan ruang dinamis demokrasi kontemporer. Ia menghadirkan mekanisme pengawasan yang lebih inklusif, cepat, dan partisipatif. Namun, kualitas pengawasannya sangat tergantung pada kesadaran dan kedewasaan para penggunanya.

 

Untuk mewujudkan media sosial sebagai ruang kritis yang konstruktif, dibutuhkan kerja sama semua pihak: masyarakat, pemerintah, akademisi, dan platform teknologi. Hanya dengan sinergi tersebut, media sosial dapat benar-benar menjadi alat transformasi demokrasi yang bermakna.

 

Kita berada pada titik kritis di mana media sosial dapat menjadi instrumen pemberdayaan demokrasi atau alat destruksi sosial. Pilihan ada di tangan kita. Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus mendayagunakan media sosial sebagai ruang dialog konstruktif, bukan sekadar medan pertarungan ego dan kepentingan.

 

Pengawasan terhadap pemerintah membutuhkan keberanian, ketelitian, dan kehati-hatian. Media sosial adalah alat, dan seperti semua alat, kualitasnya sangat tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Sudah saatnya kita tidak sekadar menjadi konsumen informasi, melainkan produsen pengetahuan yang kritis, bertanggung jawab, dan bermartabat. (int)

Baca Juga : Tantangan Pers di Era Digital
Bagikan :