Tokoh

KH Abdul Wahid Hasyim Asy’ari dalam Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara (16)

Pemikiran, Diplomasi, dan Warisan bagi Nusantara

Pemikiran, Diplomasi, dan Warisan bagi Nusantara
Dok inspira

 

Kiai Wahid menatap dalam, kemudian dengan tenang menjawab, “Saya memahami kekhawatiran tersebut. Tetapi, perlu kita ingat bahwa bangsa ini besar karena Islam telah mengakar begitu dalam di masyarakat. Kita hanya ingin menegaskan bahwa syariat Islam berlaku bagi pemeluknya, bukan untuk memaksakan hukum kepada yang lain. Jika kita meniadakan hal ini, bukankah kita justru mengabaikan fakta sejarah dan realitas sosial kita sendiri?”

 

Kalimat yang dipertahankan dan menjadi perdebatan di sidang BPUPKI adalah “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta.

 

Kalimat ini mencerminkan aspirasi para ulama dan tokoh Islam, termasuk Kiai Wahid Hasyim, untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara tanpa mengabaikan kebebasan beragama bagi pemeluk lain. Namun, frasa ini kemudian mendapat tentangan, terutama dari perwakilan Indonesia Timur yang mayoritas non-Muslim. Akhirnya, dalam kompromi politik yang berlangsung pada 18 Agustus 1945, kalimat tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” agar lebih inklusif dan diterima oleh seluruh elemen bangsa.

 

Kiai Wahid Hasyim sendiri terlibat dalam diskusi intens terkait hal ini, berusaha mempertahankan prinsip Islam sambil memahami pentingnya menjaga persatuan nasional.

Baca Juga : Pencipta Kode Pos yang Terinspirasi Lagu Dari Sabang Sampai Merauke
Bagikan :