Tokoh

KH Abdul Wahid Hasyim Asy'ari dalam Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara (11)

Jejak Intelektual yang Tak Biasa

Jejak Intelektual yang Tak Biasa
KH Abdul Wahid Hasyim (dok civitas tebuireng)

Oleh: Ivan Febriyanto

Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara: Jejak K.H. Abdul Wahid Hasyim, Ulama dan Negarawan karya Aguk Irawan, M.N. lebih dari sekadar novel biografi. Ini adalah perjalanan intelektual dan spiritual seorang ulama besar yang menyeberangi batas tradisi dan pembaharuan dalam Islam Nusantara. Dengan penuh kelembutan dan gaya bertutur yang khas, Aguk membawa kita menyelami jejak seorang pejuang ilmu yang tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah ia pelajari.

 

Mengapa Perjalanan Sang Mujtahid Islam Nusantara Begitu Bermakna?

 

SURABAYA, PustakaJC.co - Perjalanan ilmu Abdul Wahid tidaklah seperti kebanyakan santri lainnya. Berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain, beliau tidak hanya menimba ilmu agama tetapi juga menelusuri jaringan keilmuan Islam Nusantara yang terikat erat dalam mazhab Syafi’i. 

 

Aguk Irawan merangkai kisah ini dengan begitu hidup, menggambarkan bagaimana seorang pemuda dengan rasa ingin tahu yang luas terus mencari makna dalam setiap tempat yang beliau singgahi. Betapa mengagumkan perjuangan ini, ujar Aguk, menggambarkan semangat tanpa henti dalam menuntut ilmu.

 

Kita dibuat bertanya, Apa yang mendorong Wahid terus berpindah? Apakah ilmu saja tidak cukup? Dan ternyata jawabannya begitu mendalam: beliau tidak sekadar menghafal kitab, tetapi mencari berkah, sanad ilmu, dan pemahaman yang lebih utuh tentang Islam yang membumi di Nusantara. Sebuah pengembaraan yang bukan sekadar mencari ilmu, tetapi juga merajut silaturahmi dan membangun pemahaman yang lebih luas, ungkap Aguk penuh kagum.

 

Abdul Wahid, sebagai putra dari Kiai Hasyim Asy’ari, tidak serta-merta berpuas diri dengan ilmu yang didapat di Tebuireng. Beliau memahami bahwa Islam di Nusantara memiliki akar yang luas, dari Aceh hingga Mindanao, dari Mataram hingga Haramain. Sebuah kesadaran yang jarang dimiliki pemuda seusianya, tambah Aguk dengan nada penuh penghormatan.

 

Aguk menggambarkan bagaimana Wahid tak hanya menelan ilmu mentah-mentah, tetapi juga mengujinya. Dalam diskusi dengan sesama santri, beliau mempertanyakan dan mengklarifikasi, mengaitkan satu pemikiran dengan pemikiran lainnya. 

 

"Inilah wujud seorang pencari ilmu sejati, yang tidak hanya belajar tetapi juga menelaah dan memahami," ujar Aguk dengan penuh semangat.

 

Diceritakan Aguk, pada suatu malam yang tenang di pesantren Siwalan, suasana terasa hening. Para santri tengah bersiap beristirahat setelah seharian penuh menimba ilmu. Di bawah sinar temaram lampu minyak, Abdul Wahid duduk di serambi bersama Imam, seorang santri yang dikenal cerdas dan kritis. Mereka berdua sering berbincang panjang lebar mengenai banyak hal, mulai dari ilmu keislaman hingga fenomena yang terjadi di sekitar mereka. Malam itu, Imam memberanikan diri bertanya.

 

“Gus Wahid, engkau sudah banyak mengaji di berbagai pesantren. Apa yang sebenarnya engkau cari? Bukankah ilmu di Tebuireng sudah cukup luas?” tanya Imam dengan mata berbinar.

 

Wahid tersenyum, menatap langit malam yang bertabur bintang. “Ilmu itu bukan sekadar hafalan, Imam. Aku ingin memahami bagaimana ilmu itu hidup di tengah umat. Apa gunanya kitab-kitab tebal jika tak bisa membawa manfaat bagi sesama?” jawabnya penuh kelembutan.

 

“Tapi Gus, kenapa harus berpindah-pindah? Bukankah cukup belajar di satu tempat?”

 

“Imam, ilmu itu seperti air. Jika diam terlalu lama di satu tempat, ia bisa menjadi keruh. Aku ingin menjadi aliran yang terus bergerak, mencari sumber baru, dan menyebarkan ilmu yang kucari,” jawab Wahid dengan semangat. Sebuah jawaban yang mencerminkan kegigihan seorang pembelajar sejati.

 

Beberapa hari kemudian, saat Abdul Wahid mengunjungi pesantren berikutnya, seorang pengasuh pesantren menyambutnya dengan hangat. Setelah berbincang sejenak, beliau bertanya dengan nada ingin tahu.

 

“Gus Wahid, engkau datang ke sini bukan karena kurang ilmu, bukan?”

 

Wahid tersenyum. “Saya datang untuk mencari berkah dan pengalaman, Kiai. Ilmu itu bisa didapat dari kitab, tetapi hikmah dan keberkahan hanya bisa diperoleh dari perjalanan dan pertemuan.” Jawaban yang sarat makna ini menggambarkan kedalaman pemahaman Wahid, ujar Aguk dengan penuh takjub.

 

Dengan bahasa yang kaya, narasi yang mengalir, dan kedalaman sejarah yang tajam, buku ini tidak hanya menghadirkan kisah hidup seorang ulama, tetapi juga menawarkan wawasan tentang bagaimana Islam di Nusantara berkembang. Kita diajak memahami Islam sebagaimana yang diajarkan para ulama terdahulu dan bagaimana ilmunya tetap relevan dalam kehidupan modern, terang Aguk.

 

Lebih dari itu, Sang Mujtahid Islam Nusantara adalah buku yang mengajarkan bahwa ilmu bukan hanya tentang membaca, tetapi juga tentang mengalami. Abdul Wahid mengembara bukan sekadar untuk belajar, tetapi untuk menyerap ruh keilmuan Islam yang hidup di berbagai tempat. 

 

"Pengalaman yang menginspirasi setiap pencari ilmu," ujar Aguk.

 

Aguk Irawan berhasil menulis dengan penuh empati, menghidupkan tokoh-tokoh sejarah yang sering hanya kita kenal dari nama. Buku ini bukan hanya penting bagi mereka yang ingin mengenal lebih jauh sosok K.H. Abdul Wahid Hasyim, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami bagaimana Islam Nusantara terbentuk dan bertahan. Kisah ini akan membawa kita ke dalam perjalanan ilmu yang tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga menyentuh hati. 

Baca Juga : Kenangan Momen Berat saat Perankan Sosok BJ Habibie
Bagikan :