“Bukankah Muhammad Asy’ari adalah nama yang baik, Bah? Apalagi itu nama datuknya.”
Kiai Hasyim mengangguk. “Benar. Namun, sebuah nama memiliki bobot tersendiri bagi yang menyandangnya.”
Akhirnya, ia memutuskan untuk mengganti nama putranya menjadi Abdul Wahid, yang berarti hamba dari Yang Maha Esa.
Perubahan itu segera diumumkan kepada keluarga dan para santri. Seorang santri bertanya dengan polos, “Apakah harus ada aqiqah lagi?”
Santri lain menjawab dengan bercanda, “Aqiqah itu untuk kelahiran, bukan untuk ganti nama. Kamu cuma mau dagingnya, kan?”
Untuk menunaikan nazarnya, Kiai Hasyim dan Nyai Nafiqoh berangkat ke Bangkalan bersama bayinya. Namun, setibanya di sana, Kiai Hasyim mendadak harus kembali ke Jombang.
“Sudah tak jauh, Nyai,”katanya." “Kau tahu jalan menuju rumah Mbah Yai.”
Nyai Nafiqoh tak membantah. Beliau menerima keputusan suaminya dengan lapang dada. Sebuah bentuk kepatuhan istri kepada suaminya. Meskipun keputusan suami berat untuk dilakukan, namun ia mematuhinya. Melanjutkan langkah menuju pesantren Kiai Cholil.