Gus Dur, sebagai ulama, memahami pentingnya keterbukaan dan kolaborasi dalam pemerintahan. Prinsip permusyawaratan dalam Islam tercermin dalam ajaran untuk melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan agar tercipta keputusan yang adil dan diterima semua lapisan masyarakat.
Keberanian Gus Dur memadukan nilai-nilai keislaman dengan kehidupan bernegara menunjukkan bahwa ajaran Islam dapat menjadi dasar yang kokoh untuk membangun negara yang adil, sejahtera, dan damai.
Meskipun demikian, dalam pembukaan UUD 1945 terdapat doktrin mengenai keadilan dan kemakmuran, namun tidak ada doktrin yang menyatakan bahwa negara harus berbentuk negara Islam secara formalis. Begitu pula dengan pelaksanaan kenegaraannya, yang tidak mengarah pada penerapan hukum Islam secara ketat.
Dalam perspektif Gus Dur, negara sejatinya adalah Al-Hukum, yakni hukum atau aturan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, Gus Dur berkeinginan untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi atau acuan tunggal dalam negara.
[halamna]
Pandangan inilah yang menjadikan Gus Dur sebagai tokoh kontroversial, karena pandangannya ini bertentangan dengan sebagian besar warga negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang sangat toleran, terutama terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Beliau mengambil langkah penting dengan mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan orang-orang Tionghoa untuk melaksanakan praktik ajaran agama mereka secara terbuka, yang pada waktu itu masih dilarang oleh sebagian pihak.
Langkah ini memungkinkan masyarakat Tionghoa untuk menjalankan ibadah mereka secara terang-terangan di depan publik, sebuah bentuk kebebasan beragama yang sebelumnya terbatas.
Dari hal ini, penulis melihat bahwa Gus Dur berupaya menjadikan Indonesia sebagai negara yang damai di tengah keberagaman atau pluralisme masyarakatnya. Beliau menginginkan Indonesia sebagai negara yang bisa mengakomodasi keberagaman suku, ras, bahasa, adat istiadat, budaya, dan agama, sambil tetap menjaga kesejahteraan dan kedamaian.
Gus Dur percaya bahwa keberagaman ini bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang dapat memperkaya kehidupan berbangsa dan bernegara, asalkan diterapkan dengan prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kesimpulannya, Gus Dur dengan pemikiran progresif dan tolerannya mengajukan pandangan mendalam tentang hubungan agama dan negara. Meski Islam tidak memiliki doktrin negara formal, Gus Dur menekankan prinsip permusyawaratan, keadilan, dan kebebasan dalam kehidupan bernegara.
Ketiga prinsip ini selaras dengan ajaran Islam yang mengutamakan keadilan sosial, kebebasan berpendapat, serta upaya mewujudkan negara damai dan sejahtera. Gus Dur juga menunjukkan toleransi tinggi terhadap kelompok minoritas, mencerminkan komitmennya terhadap pluralisme dan kebebasan beragama.
Pemikirannya menegaskan bahwa keberagaman adalah kekuatan dalam membangun negara yang adil dan damai. (int)