Tongkat estafet kepemimpinan Aceh dilanjutkan oleh Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah selama sekitar dua tahun, yakni dari tahun 1086 H sampai 1088 H atau bertepatan dengan tahun 1675 sampai tahun 1677 M. Di tahun-tahun ini, tidak banyak catatan yang mengungkap mengingat waktunya yang sempit.
Berikutnya, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah memimpin Aceh pada tahun 1088-1098 H bertepatan dengan tahun 1677-1688 M. Mardiah Aly mencatat bahwa Sultanah Zakiatuddin merupakan seorang negarawan yang bijaksana dan menguasai bahasa Arab, Persia, urdu, Spanyol, dan Belanda. Pengetahuannya ini diperoleh dari seorang perempuan Belanda yang bekerja di Keraton Darud Dunia sebagai Sekretaris Sultanah. Ia didukung Syekh Abdur Rauf Singkel. Bahkan Syarif Makkah, yakni Syarif Husain dan Syarif Ibrahim bertandang ke Istana Aceh. Sultanah menerima dua tamu agung itu dari balik kain sutera kuning berumbai-umbai. Percakapan pun dilakukan dengan bahasa Arab yang lancar. Ia berpulang pada 8 Zulkaidah 1098 H atau bertepatan dengan 3 Oktober 1688 M.