Ketika mengajarkan kitab Fasholatan kepada para santri maupun masyarakat, beliau mempraktikkan gerakannya secara langsung. Bahkan, dalam memperhatikan isi kitab, biasanya Bu Nuri yang masih kecil diminta membacanya, Kiai Ahmad mendengarkannya.
Apabila masih ada istilah yang dianggap terlalu sulit, beliau mencoret dan menggatinya dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, agar dalam cetakan selanjutnya bisa lebih dipahami orang awam. Tidak heran jika kitab Fasholatan Jawa, diakui oleh bos PT Karya Thoha Putra, telah lebih dari 50 juta eksemplar sejak awal penerbitannya pada 1953. Rekor best Seller! Tampaknya Kiai Ahmad mencontoh kreatifitas ayahnya, Syekh Abdul Hamid bin Ahmad al-Qandaly (w. 1348 H./1929 M.), yang juga produktif berkarya.