Akibatnya konflik internal di Pura Mangkunegaran terus mengekor. Tidak ingin terjadi perpecahan lebih dalam, Mangkunegara VI memutuskan untuk mundur dan menjadi rakyat biasa.
Lepas dari takhta, Mangkunegara VI memilih hidup di tengah-tengah rakyat dan menjadi wirausaha. Ternyata warisan kebijakan walau bukan fisik, masih tetap dirasakan oleh masyarakat hingga membuatnya tetap dicintai hingga akhir hayat.
Terbukti ketika dirinya wafat pada 25 Juni 1928 di Surabaya, ketika jenazahnya diantar menuju pemakaman, di sepanjang jalan hingga stasiun kereta api, berkumpul semua orang untuk memberi hormat.
Sebuah bentuk dari seorang pemimpin yang ideal, bukan hanya untuk masyarakat Jawa tetapi Indonesia. Sosok pemimpin yang dicintai secara tulus bukan karena rasa takut.
Mangkunegara VI telah mewariskan teladan yang masih relevan hingga kini. Sosoknya sebagai pemimpin pada masa peralihan yakni di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 merupakan masa awal modernisasi.