2. Sering meremehkan perasaan anak Jika kita mencoba mengungkapkan rasa sakit atau kekecewaan mengenai suatu masalah pada orangtua toksik, mereka akan mengabaikan atau acuh tak acuh dengan perasaan kita. Perilaku orangtua toksik itu membuat kita terus-menerus bertanya pada diri kita, apakah mengungkapkan perasaan kita merupakan sebuah kesalahan atau tidak. "Kita sering merasa tidak valid secara emosional karena orangtua toksik, dan memiliki banyak keraguan setelah berbicara dengan mereka," kata Carino. Psikolog klinis Craig Malkin menceritakan, salah satu kliennya dibesarkan oleh ayah yang senantiasa menanggapi emosi anaknya dengan pengabaian, seperti "kamu perlu belajar untuk melepaskan sesuatu". Perilaku ini menimbulkan rasa malu dan kebingungan di diri klien tersebut, dan dirasakannya hingga dewasa. "Klien itu membatasi kontak dengan ayahnya, tetapi setiap percakapan mereka memunculkan kecurigaan, di mana dia (klien) dianggap terlalu sensitif, terlalu menuntut, atau plin-plan," tutur Malkin. "Dia meragukan dirinya sendiri pada tingkat yang lebih dalam daripada anak yang terus-menerus dikritik."
3. Pertentangan dianggap sebagai tindakan kurang ajar Tidak ada ruang untuk berdiskusi secara sehat jika kita memiliki orangtua toksik. Meskipun kita sudah dewasa, pendapat kita tidak ada artinya di mata mereka. "Orangtua yang menganut gaya pengasuhan otoriter meyakini hanya ada satu jawaban, dan itu adalah jawaban darinya," ucap Streep. "Kurangnya diskusi hanya memberikan kita satu pilihan, yaitu menyerah."