Lebih lanjut, budayawan yang menetap di Yogyakarta ini menjelaskan, ganjuran dilakukan setelah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Ganjuran berbeda dengan lamaran yang meminta ataupun khitbah dalam Islam yang berarti mengikat. Dalam prosesi ganjuran, tidak ada kata lamaran dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Pembicaraan yang dilakukan dalam ganjuran biasanya adalah saling memperkenalkan keluarga besar kedua belah pihak, selain tentu saja membahas kelanjutan hubungan menuju pernikahan.
“Nah, setelah perempuan datang mengganjur, pihak laki-laki membalasnya dengan datang ke pihak perempuan. Ini disebut mbales ganjur,” teran laki-laki yang pernah menjadi Ketua Bidang Pengembangan Organisasi PCINU Mesir tahun 2001.
Masih menurut Aguk, laki-laki Lamongan ini pada dasarnya memiliki gengsi yang sangat tinggi. Maka ketika membalas ganjur dan calon istrinya, mereka akan memberikan yang lebih, baik dari segi jumlah maupun segi kualitas. Ini sebagai bentuk terima kasih karena telah yakin dan menghargainya sebagai calon suami.

Ketika ditanya bagaimana tradisi ganjuran di era modern ini. Dengan tegas laki-laki berdarah asli Lamongan ini mengatakan bahwa ganjuran ini harus terus dilestarikan karena merupakan sebuah tradisi yang sarat makna.
“Tidak ada kata perkembangan zaman sekarang laki-laki yang melamar, dari dulu juga konsepnya memang laki-laki yang harus melamar. Tapi, ganjuran ini bukanlah lamaran. Saya kembali tegaskan, bukan lamaran” tutupnya.