Di akhir wawancara, KH. Maa’rif menegaskan, tradisi Ganjuran yang mengharuskan perempuan melamar laki-laki kini semakin jarang dilakukan, perubahan ini mencerminkan adaptasi masyarakat Lamongan terhadap dinamika zaman. Pergeseran budaya ini menunjukkan bagaimana masyarakat merespons perubahan sosial, ekonomi, dan pendidikan yang terjadi, menjadikan kebiasaan-kebiasaan lama sebagai bagian dari sejarah budaya yang terus berkembang.
Sementara itu, KH. Aguk Irawan MN, Pendiri dan Pengurus Pesantren Kreatif Baitul Kilmah di Pajangan Yogyakarta ini mengungkap bahwa tradisi ganjuran memiliki arti mengistimewakan. Ganjur sendiri memiliki makna istimewa dan ganjuran berarti mengistimewakan. Hal ini berarti, ganjuran ini adalah bentuk penghormatan dan pengistimewaan pihak laki-laki oleh pihak perempuan sebelum adanya pernikahan. Jadi, pihak perempuan datang atau mengganjur dengan membawa beraneka jenis hadiah dan oleh-oleh, baik berupa barang dan berbagai macam makanan sebagai bentuk penghargaan kepada laki-laki yang nantinya akan menjadi suaminya.
Nah, dalam konsep ini, mengapa yang diganjur adalah laki-laki. Penulis buku Haji Backpacker ini menjelaskan, hal ini dikarenakan ketika laki-laki telah sepakat untuk menikahi perempuan, maka tanggung jawab atas perempuan tersebut berpindah dari ayahnya kepada dirinya. Dan inilah yang harus dihargai, laki-laki yang tidak ada hubungan apapun harus mengambil alih tanggung jawab atas perempuan yang dinikahinya.
“Jadi, dapat dipahami jika ganjuran ini mengistimewakan, bukan melamar seperti pemahaman umum selama ini,” kata Pengurus Lesbumi PWNU 2005-2017 ini.