Adapun pendapat dari dosen filsafat Universitas Gadjah Mada, Dr. Sartini, tradisi sesajen di masyarakat sering diartikan sebagai bentuk persembahan, baik itu untuk Tuhan, dewa, roh leluhur, nenek moyang, atau maklhuk tak kasat mata. Sesajen juga merupakan tradisi yang sudah ada sejak lama, bahkan sebelum masuknya agama Islam, Hindu, dan Buddha.
“Sesaji biasanya dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu. Oleh karenanya, benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesaji dapat berbeda-beda. Masing-masing unsur dalam sesaji mempunyai filosofinya sendiri,”kata Sartini, seperti dikutip dari laman resmi UGM.
Sartini juga menjelaskan bahwa di Jawa, sesajen sering disebut uborampe atau kelengkapan. Sementara itu di Lumajang, bila sesajen memang merupakan tradisi masyarakat setempat, ada kemungkinan orang yang melakukan sesajian menganggap Gunung Semeru sebagai makhluk yang punya kekuatan. Sesajen tersebut dibuat dengan harapan agar Semeru tidak murka lagi.
“Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini,” jelasnya. (int)