Bagong juga menambahkan bahwa si pelaku tidak bisa bila hanya membenarkan tindakannya sendiri dan menganggap yang lain adalah salah. Masyarakat juga boleh percaya dan mengimani suatu keyakinan, tetapi tidak perlu menyalahkan dan merendakah keyakinan yang lain. Hal ini dilakukan sebagai penghormatan dan kesediaan untuk menerima bahwa perbedaan itu ada, termasuk dalam hal ini sesajen.
"Jadi masyarakat harus betul-betul memahami, kita hidup di lingkungan yang beraneka ragam. Sehingga ketika hendak menilai suatu kelompok lain yang berbeda, janganlah memakai ukuran kita sendiri. Kita harus berempati dan bertoleransi dan kuncinya adalah memahami dan menerima segala bentuk perbedaan," kata Bagong.
Menurut penjelasan antropolog Argo Twikromo, pemberian sesajen berasal dari masyatakat zaman dahulu yang cenderung percaya pada ‘penghuni’ yang mendiami suatu tempat. Mereka merasa perlu menjalin komunikasi yang harmonis maka dari itu dilakukan pemberian sesajen.
"Jadi sesaji itu memberi sesuatu yang tepat, ataupun mungkin ketika masyarakat mengenal daerah itu, apa ya kira-kira yang tepat di situ, mungkin bentuk sesajinya akan berbeda-beda," jelas Argo.
Menurut Argo, sesajen juga tidak selalu berarti menyembah, tetapi sesajen menjadi esensi mengenai bagaimana manusia membangun relasi yang selaras dengan alam. Masyarakat juga percaya bila memberi sesuatu yang baik, akan mendapatkan timbal balik yang baik pula.