Pada kurun tahun 1870, intensitas akulturasi Jawa-Eropa semakin menguat. Uang hasil perkebunan digunakan membeli gaya hidup Eropa termasuk kulinernya. Para raja semakin rajin membuat perjamuan ala Eropa, yang tentunya dihasilkan oleh koki Eropa.
Maka lahirlah bistik jawa yang berakar dari biefstuk, seperti hidangan daging panggang Belanda bersaus kaldu kental. Menurut GKR Timoer, bistik dan selat merupakan makanan kersanan (kesukaan) Sunan Pakubuwono IX.
Di Kesultanan Yogyakarta, muncul roti jok, kue berbahan campuran tepung beras dan tepung terigu. Di Pura Pakualaman, hutspot, masakan simbol perlawanan rakyat Leiden, Belanda bersalin jadi ongklok kegemaran Paku Alam VIII.
Di Jalan Malioboro, bertumbuh hotel, restoran, dan toko roti Eropa. Di Surakarta lebih urban lagi, karena memiliki jaringan kereta api yang menghubungkan dengan Semarang. Inilah awal terbentuknya cita rasa elite yang menekuk santapan Eropa menjadi hidangan Jawa.