Imam Asy-Syafi’i menjelaskan lebih lanjut:
المُحْدَثَاتُ مِنَ الأُمُورِ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا أُحْدِثَ مِمَّا يُخَالِفُ كِتَابًا، أَوْ سُنَّةً، أَوْ أَثَرًا، أَوْ إِجْمَاعًا، فَهَذِهِ البِدْعَةُ الضَّلَالَةُ، وَالثَّانِيَةُ: مَا أُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لَا خِلَافَ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا، فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُومَةٍ
“Perkara baru ada dua: yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, atsar, atau ijma’, maka itu bid’ah sesat. Sedangkan yang tidak bertentangan dan membawa kebaikan, maka itu perkara baru yang tidak tercela.” (Al-Baihaqi, Al-Madkhal)
Penjelasan Imam Syafi’i ini menunjukkan bahwa perkara baru (muhdatsat) perlu ditimbang berdasarkan apakah ia menyelisihi syariat atau tidak. Bila tidak bertentangan dan justru membawa kemaslahatan, maka tidak termasuk bid’ah yang tercela.