SURABAYA, PustakaJC.co - Istilah “bid’ah” sering kali menimbulkan perdebatan. Padahal tidak semua hal baru itu otomatis sesat. Para ulama sejak dulu sudah membedakan antara bid’ah yang tercela dan yang terpuji, tergantung pada kesesuaiannya dengan syariat.
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
"Setiap perkara baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." (HR. Muslim)
Hadits ini kerap dijadikan dalil untuk menolak segala bentuk inovasi dalam agama. Namun para ulama memberi penjelasan bahwa hadits ini berlaku untuk hal-hal baru dalam urusan agama yang menyimpang dari ajaran Rasulullah, bukan untuk semua inovasi yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dilansir dari nu.or.id Jumat, (11/4/2025).
Sebagai contoh, hadits lain menyebutkan:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
"Barang siapa membuat kebiasaan baik dalam Islam, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa dikurangi sedikit pun." (HR. Muslim dan Ahmad)
Hadits ini menunjukkan bahwa ada bentuk inovasi yang dibenarkan dalam Islam selama tidak bertentangan dengan syariat. Rasul sendiri menyebutnya sebagai sunnah hasanah (kebiasaan baik), yang berarti bahwa tidak semua hal baru dalam agama otomatis salah.
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan lebih lanjut:
المُحْدَثَاتُ مِنَ الأُمُورِ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا أُحْدِثَ مِمَّا يُخَالِفُ كِتَابًا، أَوْ سُنَّةً، أَوْ أَثَرًا، أَوْ إِجْمَاعًا، فَهَذِهِ البِدْعَةُ الضَّلَالَةُ، وَالثَّانِيَةُ: مَا أُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لَا خِلَافَ فِيهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا، فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُومَةٍ
“Perkara baru ada dua: yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, atsar, atau ijma’, maka itu bid’ah sesat. Sedangkan yang tidak bertentangan dan membawa kebaikan, maka itu perkara baru yang tidak tercela.” (Al-Baihaqi, Al-Madkhal)
Penjelasan Imam Syafi’i ini menunjukkan bahwa perkara baru (muhdatsat) perlu ditimbang berdasarkan apakah ia menyelisihi syariat atau tidak. Bila tidak bertentangan dan justru membawa kemaslahatan, maka tidak termasuk bid’ah yang tercela.
Contohnya, Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkata:
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari)
Ucapan ini muncul saat Umar menghidupkan kembali shalat tarawih secara berjamaah pada masa kekhalifahannya. Meski Rasulullah tidak melakukannya secara rutin, tetapi shalat tarawih sendiri punya dasar kuat dalam sunnah. Karena itu, Umar menyebutnya sebagai bid’ah hasanah hal baru yang baik.
Ibnu Rajab al-Hanbali menegaskan:
فَكُلُّ مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرِيعَةِ يَدُلُّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا، وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً
"Segala sesuatu yang memiliki dasar dalam syariat, maka itu bukan bid’ah secara syar’i, meskipun secara bahasa disebut bid’ah.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam)
Ini memperkuat bahwa penilaian terhadap bid’ah harus berdasarkan hukum syariat, bukan sekadar makna bahasa. Apa pun yang punya landasan dalam ajaran Islam, meski bentuknya baru, tidak bisa langsung dicap sesat.
Tidak semua hal baru dalam agama adalah bid’ah sesat. Perkara baru yang memiliki dasar dari syariat langsung maupun tidak langsung tetap bisa diterima. Penting bagi umat Islam untuk memahami istilah bid’ah secara utuh agar tidak mudah menyesatkan sesuatu yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran Rasulullah SAW. (Ivan)
Wallahu a’lam.